SEJARAH PERADABAN ISLAMDI INDONESIA
BEDAH BUDAYA ISTIGHOTSAH DALAM BUDAYA ISLAM INDONESIA
Sudah menjadi tradisi yang tidak bisa dikompromikan, umat Muslim di Indonesia terutaman di pulau jawa dan beberapa negara lain, ramai melakukan isthotsah dalam setiap kesempatan utamanya jika terjadi bencana atau musibah bahkan akan mengahadapi ujian nasional di sekolah ataupun madrasah. Bahkan, ada yang menganggap ritual keagamaan ini bagian dari keimanan seseorang, jika tidak merayakannya maka ia tidak beriman.
Jika dihadapkan pada pertanyaan: mana yang lebih utama, istighotsah dengan cara seremonial, atau sholat fardu yang lebih khusyuk dalam rangka menjadi manusia yang bermakna? Tentu kita akan menjawab: lebih utama dua-duanya, merayakan maulid juga mengingat perjuangannya untuk dijadikan barometer menuju hidup yang bermakna.
B. PERMASALAHAN
1. Pengertian Istighotsah.
2. Kajian Istighotsah menurut para ahli dan pendapat yang setuju dan tidak.
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN ISTIHOTSAH.
Kata “istighotsah” استغاثة berasal dari “al-ghouts”الغوث yang berarti pertolongan. Dalam tata bahasa Arab kalimat yang mengikuti pola (wazan) "istaf’ala" استفعل atau "istif'al" menunjukkan arti pemintaan atau pemohonan. Maka istighotsah berarti meminta pertolongan. Seperti kata ghufron غفران yang berarti ampunan ketika diikutkan pola istif'al menjadi istighfar استغفار yang berarti memohon ampunan. Jadi istighotsah berarti "thalabul ghouts" طلب الغوث atau meminta pertolongan. Para ulama membedakan antara istghotsah dengan "istianah" استعانة, meskipun secara kebahasaan makna keduanya kurang lebih sama. Karena isti'anah juga pola istif'al dari kata "al-aun" العون yang berarti "thalabul aun" طلب العون yang juga berarti meminta pertolongan. Istighotsah adalah meminta pertolongan ketika keadaan sukar dan sulit. Sedangkan Isti'anah maknanya meminta pertolongan dengan arti yang lebih luas dan umum. Baik Istighotsah maupun Isti'anah terdapat di dalam nushushusy syari'ah atau teks-teks Al-Qur'an atau hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam surat Al-Anfal ayat 9 disebutkan:
"(Ingatlah wahai Muhammad), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu lalu Dia mengabulkan permohonanmu." (QS Al-Anfal:9) Ayat ini menjelaskan peristiwa ketika Nabi Muhammad SAW memohon bantuan dari Allah SWT, saat itu beliau berada di tengah berkecamuknya perang badar dimana kekuatan musuh tiga kali lipat lebih besar dari pasukan Islam. Kemudian Allah mengabulkan permohonan Nabi dengan memberi bantuan pasukan tambahan berupa seribu pasukan malaikat. Dalam surat Al-Ahqaf ayat 17 juga disebutkan;
وَهُمَايَسْتَغِيثَانِ اللَّهَ
"Kedua orang tua memohon pertolongan kepada Allah." (QS Al-Ahqaf:17)
Yang dalam hal ini adalah memohon pertolongan Allah atas kedurhakaan sang anak dan keengganannya meyakini hari kebangkitan, dan tidak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh keduanya untuk menyadarkan sang anak kecuali memohon pertolongan dari Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dari kedua cuplikan ayat ini barangkali dapat disimpulkan bahwa istighotsah adalah memohon pertolongan dari Allah SWT untuk terwujudnya sebuah "keajaiban" atau sesuatu yang paling tidak dianggap tidak mudah untuk diwujudkan. Istighotsah sebenamya sama dengan berdoa akan tetapi bila disebutkan kata istighotsah konotasinya lebih dari sekedar berdoa, karena yang dimohon dalam istighotsah adalah bukan hal yang biasa biasa saja. Oleh karena itu, istighotsah sering dilakukan secara kolektif dan biasanya dimulai dengan wirid-wirid tertentu, terutama istighfar, sehingga Allah SWT berkenan mengabulkan permohonan itu. Istighotsah juga disebutkan dalam hadits Nabi,di antaranya :
إنَّ الشَّمْسَ تَدْنُوْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ الْأُذُنِ, فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوْا بِآدَمَ ثُمَّ بِمُوْسَى ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ
Matahari akan mendekat ke kepala manusia di hari kiamat, sehingga keringat sebagian orang keluar hingga mencapai separuh telinganya, ketika mereka berada pada kondisi seperti itu mereka beristighotsah (meminta pertolongan) kepada Nabi Adam, kemudian kepada Nabi Musa kemudian kepada Nabi Muhammad. (H.R.al Bukhari).
Hadits ini juga merupakan dalil dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah dengan keyakinan bahwa seorang nabi atau wali adalah sebab. Terbukti ketika manusia di padang mahsyar terkena terik panasnya sinar Matahari mereka meminta tolong kepada para Nabi. Kenapa mereka tidak berdoa kepada Allah saja dan tidak perlu mendatangi para nabi tersebut? Seandainya perbuatan ini adalah syirik niscaya mereka tidak melakukan hal itu dan jelas tidak ada dalam ajaran Islam suatu perbuatan yang dianggap syirik. Sedangkan isti'anah terdapat di dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:
وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ
“Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS Al-Baqarah: 45)
2. PRO DAN KONTRA TENTANG ISTIGHOTSAH
Istighotsah marak diamalkan sekelompok umat Islam di Indoensia, seolah Istighotsah adalah perintah syar’i yang mesti di amalkan oleh setiap muslim. Lalu benarkah Istighotsah itu perintah agama ?..Banyak pak lebai atau kyai kyai menjadi promotor Istighotsah, mengisyaratkan istighosah adalah suatu ajaran yang tidak boleh tidak harus di amalkan oleh umat Islam.
Definisi Istighosah adalah suatu bentuk permohonan khusus kepada Allah, dengan perantara atau wasilah nabi atau orang orang yang dikeramatkan. Tetapi tidaklah demikian dalam sejarah Islam, istighotsah dilakukan para shahabat nabi bersifat spontanitas dengan tujuan menghindar dari musibah yang menimpanya, berdoa dan betawassul selama nabi masih ada, tentunya dengan teks doa tawassul yang diajarkan Rasulullah saw. Bukan buatan sendiri.
Di Indonesia Istighotsah di hubungkan dengan berbagai kepentingan kelompok atau perorangan atau pada acara cara kampanye partai yang dilakukan dengan motivasi jabatan atau tahta, bahkan menjadi alat kekuasaan dalam rangka menangkal lawan politiknya. Pada acara tertentu, istighotsah digunakan untuk menolak musibah atau bencana yang menimpa nasional .
Istighotsah juga sering digunakan para kyai sebagai media kepentingan mereka
berdekatan dengan kekuasaan, bukan dengan Allah. Padahal bentuk amalan istighotsah model sekarang bukan makin mendekatkan umat kepada Allah, melainkan akan menjauhkan umat dari jalan-Nya. Sebab banyak masalah dalam Istighotsah, berupa aturan aturan yang dibuat oleh mereka sehingga menyamai Ibadah, sedangkan Ibadah menjadi haram hukumnya, bila tak pernah ada contohnya dari Nabi. Amalan amalan Istighotsah menggambarkan didalamanya banyaknya amalan amalan yang tidak sunah, kaifiyatnya (caranya) menentang menentang cara cara Ibadah Nabi Muhammad.
Apalagi Istighotsah itu mengandung pola ibadah berlebihan dan syirik yang justru menghapus makna Ibadah syar’i yang dikandungnya. Seperti pembacaan alfatihah pada mayat mayat orang shalih dan para wali, mencerminkan istighotsah adalah suatu ibadah yang trans nasional, produk luar Islam yang dikombinasi kedalam Islam, terlebih didalamnya menghubungkan Islam dengan mitologi dan kultus, yang membesar besarkan dan mendewa dewakan ulama dahulu kala sebagai perantara.
Adalah sebuah ajaran Bid’ah (ajaran sesat, karena tidak ada contohnya dari nabi). Dalam masalah ibadah, tidak ada toleransi Islam yang membenarkan umatnya membuat Ibadah sendiri. Segala peraturan Ibadah dalam Islam harus murni dari nabi, bukan apologika para ulama yang disakralkan. Islam memiliki tiang tiang ibadah yang secara khusus bertopang pada keputusan syariat, bukan keputusan ulama. Ulama tidak berhak menciptakan Ibadah, siapapun orangnya. Karena Aturan Ibadah baru bisa dijalankan kalau datagnya dari Nabi sebagai petugas Allah.
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَاتَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَاتَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali”. [An Nisa':115]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [Al Hujurat :1].
Maka perlunya umat Islam menjauhkan dari macam macam bid’ah, ajaran yang tidak ada contohnya dari nabi dan para shahabtanya.
Telah mengabarkan kepada kami [Abu Al Mughirah] telah menceritakan kepada kami [Al 'Auza'i] dari [Yahya bin Abu Katsir] dari [Abu Qilabah] ia berkata; [Abdullah bin Mas'ud] radliallahu ‘anhu berkata; ” Pelajarilah ilmu sebelum ia dicabut. Dan, dicabutnya ilmu dengan cara ulama diwafatkan. Oleh karena itu, tinggalkanlah bid’ah, bersilat lidah dan sikap sering mengada-ada dan melampui batas hingga persoalan menjadi rumit. Dan, berpegang teguhlah kepada sesuatu yang kuno, yaitu sunnah dan atsar (ucapan sahabat) “.(Sunan Darimi 142)
Telah mengabarkan kepada kami [Abu Al Mughirah] telah menceritakan kepada kami [Al 'Auza'i] dari ['Abdah bin Abu Lubabah] dari [Ibnu Abbas] radliallahu ‘anhu ia berkata: ” Barang siapa yang mengada-adakan pendapat selain dari Kitab Allah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ia tidak tahu bagaimana kondisinya ketika bertemu Allah kelak”. (Sunan Darimi 153)
dari ['Aisyah] dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu tertolak.” (Shahi Muslim 3242)
BEDAH BUKU TENTANG ISTIGHOSAH
Buku yang berjudul "Membongkar Kebohongan Buku; Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir" ini, merupakan jawaban dari buku yang ditulis H Mahrus Ali yang berjudul, "Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik". Tulisan Mahrus, ternyata mempunyai banyak kejanggalan dan kebohongan, bahkan meresahkan kaum muslimin, khususnya bagi warga Nahdliyyin (sebutan untuk warga NU). Tim Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Cabang NU Jember merasa bertanggung jawab untuk meluruskan adanya kejanggalan dan kebohongan buku tersebut.
Dalam bukunya, Mahrus mengatakan bahwa tawassul dan istighosah termasuk perbuatan bid'ah (mengada-ada dalam beribadah), syirik (menyekutukan Tuhan). Bahkan, ia mengkafirkan. Dan, ibadah-ibadah lainnya, seperti, membaca sholawat pada Nabi dan membaca zikir setelah salat lima waktu termasuk perbuatan bid'ah. Padahal, bacaan-bacaan itu telah menjadi tradisi khususnya di kalangan Nahdliyyin. Pertanyaannya, apakah Mahrus sudah menemukan dalil yang kuat dalam Al-Quran dan Al-Hadist, bahwa ber-tawassul, istighosah, membaca sholawat pada Nabi, dan membaca zikir termasuk perbuatan bid'ah, kufur, syirik, dan menyesatkan?
Karena itu, dalam buku ini, dijelaskan, ber-tawassul dan ber-istighosah, hukumnya adalah boleh, baik ketika seorang nabi atau wali itu masih hidup atau sudah meninggal. Namun, hal itu harus disertai dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa mendatangkan bahaya dan memberikan manfaat secara hakiki, kecuali Allah. Sedangkan, para nabi dan wali hanyalah sebagai sebab atas dikabulkannya doa dan permohonan seseorang.
Adapun kebolehan ber-tawassul dan ber-istighosah kepada para nabi dan para wali, baik ketika mereka masih hidup maupun yang telah meninggal, hukumnya sudah disepakati seluruh ulama salaf yang saleh sejak generasi Sahabat sampai generasi para ulama terkemuka pada abad pertengahan. Ada 12 ulama besar terkemuka, yang semuanya sepakat membolehkan ber-tawassul dan ber-istighosah. Di antaranya, Al- Imam Sufyan bin Uyainah (Guru Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hambal), Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi'I, Imam Ahmad bin Hambal, Imam Abu Ali al-Khallal, Al-Hafizh Ibn Khuzaimah, tiga hafizh (al-Thabarani, Abu al-Syaikh dan Abu Bakar Ibn al-Muqri'), Ibrahim al-Harbi, Al-Hafizh Abu Ali al-Naisaburi, Al-Hafizh Abdul Ghani al-Maqdisi, dan Abu al-Khair al-Aqqtha'.
Tidak hanya ulama di atas yang membolehkannya. Al-Quran yang merupakan sumber primer pengambilan hukum Islam justru menganjurkan ber-tawassul dan ber-istighosah. Seperti yang dijelaskan dalam surat al-Maidah ayat 35, yang artinya, "Hai, orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya". (QS. Al-Maidah:35). Jadi, dapat kita simpulkan bahwa ber-tawassul dan ber-istighosah dengan para Nabi dan para wali yang sudah meninggal tidak bertentangan dengan ajaran yang telah dijelaskan dalam Al-Quran dan Al-Hadits.
Adapun penolakan Mahrus, dalam bukunya, terhadap doa-doa, tawassul dan istighosah, dengan dipertentangkan dengan ayat-ayat Al-Quran, adalah berakar pada dua hal. Pertama, Mahrus tidak merujuk pada kitab-kitab tafsir yang mu'tabar (dapat dipertanggungjawabkan) yang ditulis para huffazh, seperti, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Qurthubi, dan lain-lain. Kedua, Mahrus tidak memahami maksud ayat-ayat Al-Quran yang diajukan untuk menentang doa-doa tawassul dan istighosah. Ia tidak dapat meletakkan ayat-ayat Al-Quran pada tempat yang sebenarnya (hal. 59-60).
Selain itu, Mahrus mengaku sebagai mantan kiai NU, padahal dia tidak pernah tercatat sebagai anggota dan aktivis NU, apalagi tokoh atau kiai NU, sebagaimana keterangan dari Pengurus Ranting NU Sidomukti, Kebomas, Gresik—tempat kelahirannya. Juga, keterangan dari pengurus Majelis Wakil
BAB III
KESIMPULAN
Istighotsah marak diamalkan sekelompok umat Islam di Indoensia, seolah Istighotsah adalah perintah syar’i yang mesti di amalkan oleh setiap muslim. Lalu benarkah Istighotsah itu perintah agama ?..Banyak pak lebai atau kyai kyai menjadi promotor Istighotsah, mengisyaratkan istighosah adalah suatu ajaran yang tidak boleh tidak harus di amalkan oleh umat Islam.
Definisi Istighosah adalah suatu bentuk permohonan khusus kepada Allah, dengan perantara atau wasilah nabi atau orang orang yang dikeramatkan. Tetapi tidaklah demikian dalam sejarah Islam, istighotsah dilakukan para shahabat nabi bersifat spontanitas dengan tujuan menghindar dari musibah yang menimpanya, berdoa dan betawassul selama nabi masih ada, tentunya dengan teks doa tawassul yang diajarkan Rasulullah saw. Bukan buatan sendiri.
Di Indonesia Istighotsah di hubungkan dengan berbagai kepentingan kelompok atau perorangan atau pada acara cara kampanye partai yang dilakukan dengan motivasi jabatan atau tahta, bahkan menjadi alat kekuasaan dalam rangka menangkal lawan politiknya. Pada acara tertentu, istighotsah digunakan untuk menolak musibah atau bencana yang menimpa nasional .
Istighotsah juga sering digunakan para kyai sebagai media kepentingan mereka
berdekatan dengan kekuasaan, bukan dengan Allah. Padahal bentuk amalan istighotsah model sekarang bukan makin mendekatkan umat kepada Allah, melainkan akan menjauhkan umat dari jalan-Nya. Sebab banyak masalah dalam Istighotsah, berupa aturan aturan yang dibuat oleh mereka sehingga menyamai Ibadah, sedangkan Ibadah menjadi haram hukumnya, bila tak pernah ada contohnya dari Nabi. Amalan amalan Istighotsah menggambarkan didalamanya banyaknya amalan amalan yang tidak sunah, kaifiyatnya (caranya) menentang menentang cara cara Ibadah Nabi Muhammad.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.almeshkat.net/books/archive/books/sheh%20almuhalh.zip
2. http://www.almeshkat.net/books/archive/books/fath%20alaziz.zip
3. http://www.waqfeya.net
4. http://www.alsunnah.com
0 Response to "SEJARAH PERADABAN ISLAMDI INDONESIA"
Post a Comment