MAKALAH TAFSIR TARBAWI JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
MAKALAH TAFSIR TARBAWI
Tentang
MUSYAWARAH
(QS. Ali Imran ayat 159)
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan kita sehari-hari banyak hal yang kita temukan, salah satunya dalam hal menentukan suatu keputusan. Kita lihat dalam menentukan suatu keputusan itu ada seseorang yang mengutamakan egonya sendiri, dan ada juga dengan jalan memusyawarahkan dengan orang lain.
Dalam makalah ini, kami akan menerangkan tentang Musyawarah yang berdalilkan QS. Ali Imran Ayat 159.
PEMBAHASAN
A. Teks ayat
Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Maa pada firman Allah SWT, Fabimaa adalah shilah yang di dalamnya terdapat makna taukid (penegasan). Maksudnya, 7pyJômu‘Î6sù sama seperti firman-Nya, “Dalam sedikit waktu lagi”[1]
Menurut Ibnu Kaisan, Maa adalah Maa Nakirah yang berada pada posisi majrur dengan sebab ba’, sedangkan Rahmatin adalah badalnya. Maka makna ayat adalah ketika Rasulullah SAW bersikap lemah-lembut dengan orang yang berpaling pada perang uhud dan tidak bersikap kasar terhadap mereka maka Allah SWT menjelaskan bahwa beliau dapat melakukan itu dengan sebab taufik-Nya kepada beliau.[2]
Ada juga yang mengatakan Maa itu adalah istifham (pertanyaan). Maka makna ayat: Maka dengan rahmat dari Allah yang mana kamu bersikap lemah-lembut terhadap mereka. Ini adalah ungkapan takjub.
Namun pendapat kedua ini jauh dari kebenaran, sebab seandainya memang seperti itu tentu konteksnya adalah fabima, tanpa alif.
Selain itu, dalam ayat ini bertemulah pujian yang tinggi dari Allah terhadap Rasul-Nya, karena sikapnya yang lemah lembut, tidak lekas marah kepada ummatNya yang tengah dituntun dan dididiknya iman mereka lebih sempurna. Sudah demikian kesalah beberapa orang yang meninggalkan tugasnya, karena laba akan harta itu, namun Rasulullah tidaklah terus marah-marah saja. Melainkan dengan jiwa besar mereka dipimpin[3]. Dalam ayat ini Allah menegaskan, sebagai pujian kepada Rasul, bahwasanya sikap yang lemah lembut itu, ialah karena ke dalam dirinya telah dimasukkan oleh Allah rahmatNya. Rasa rahmat, belas kasihan, cinta kasih itu telah ditanamkan Allah ke dalam diri beliau, sehingga rahmat itu pulalah yang mempengaruhi sikap beliau dalam memimpin. Ini sesuai dengan pujian tuhan di dalam firmannya yang lain yang terdapat pada ayat-ayat terakhir surat at-Taubah ayat 128:
Artinya: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin”
Di ujung ayat di atas, Allah memberikan sanjungan tertinggi kepada RasulNya; diberi dua gelar yaitu RAUF dan RAHIM yang berarti sangat pengasih, penyantun dan penghiba serta sangat penyayang. Kedua nama Rauf dan Rahim itu adalah sifat-sifat Allah, Asma Allah, termasuk di dalam al-Asmaul Husna yang 99 banyaknya. Rahmat Allah yang telah diberikan kepadanya dirinya telah beliau laksanakan dengan baik, sehingga telahmenjadi sikap hidup dan perangainya. Sehinga Allah sendiri memberinya gelar dengan asma Allah.[4]
Dengan sanjungan Allah yang demikian tinggi kepada RasulNya. Karena sikap lemah lembutnya itu,berartilah bahwa Allah senang sekali jika sikap itu diteruskan. Dengan ini Allah telah member petunjuk tentang “Ilmu Memimpin”. Sebab itu selanjutnya Allah berfirman;
“Karena sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”.
Pemimpin yang kasar dan berkeras hati atau kaku sikapnya, akan seganlah orang menghampirinya. Orang akan menjauh satu demi satu, sehingga dia sendirian. Kalau orang telah lari, janganlah orang itu disalahkan, melainkan selidikilah cacat pada diri sendiri.
Firman Allah SWT, artinya keras dan kasar. Dalam sifat Nabi SAW disebutkan bahwa beliau bukan orang yang keras, bukan orang yang kasar dan bukan orang yang berteriak keras di pasar.
(keras hati) adalahd ungkapan untuk muka yang selalu masam, tidak peka segala keinginan dan kurang memiliki rasakasih sayang. Makna adalah memisahkan diri. Artinya kamu memisahkan mereka, maka merekapun memisahkan diri.
Firman Allah SWT selanjutnya,
Artinya: “Karena itu maafkanlah mereka,, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu”.
Dalam ayat ini terdapat delapan masalah:
Pertama: Para ulama berkata, “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya dengan perintah-perintah ini secara berangsur-angsur. Artinya, Allah SWT memerintahkan kepada beliau untuk memaafkan mereka atas kesalahan mereka terhadap beliau. Setelah mereka mendapat maaf, Allah SWT memerintahkan beliau utnuk memintakan ampun atas kesalahan mereka terhadap Allah SWT. Setelah mereka mendapat hal ini, maka mereka pantas untuk diajak bermusyawarah dalam segala perkara”.
Kedua: Ibnu ‘Athiyah berkata, “Musyawarah termasuk salah satu kaidah syariat dan penetapan hokum-hukum. Barangsiapa yang tidak bermusyawarah dengan ulama, maka wajib diberhentikan (jika dia seorang pemimpin). Tidak ada pertentangan tentang hal ini. Allah SWT memuji orang-orang yang beriman karena mereka suka bermusyawarah dengan firman Nya . “sedang urusan mereka (diputuskan dengan musyawarat antara mereka”
Ketiga: Firman Allah SWT, “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu”. Menunjukkan kebolehan ijtihad dalam semua perkara dan menentukan perkiraan bersama yang didasari dengan wahyu. Sebab, Allah SWT mengizinkan hal ini kepada Rasul-Nya. Para ulama berbeda pendapat tentang makna perintah Allah SWT kepada Nabi-Nya ntuk bermusyawarah dengan para sahabat beliau.
Sekelompok ulama berkata, “Musyawarah yang dimaksudkan adalah dalam hal taktik perang dan ketika berhadapan dengan musuh untuk menenangkan hati mereka, meninggikan derajat mereka dan menumbuhkan rasa cinta kepada agama mereka, sekalipun Allah SWT telah mencukupkan beliau dengan wahyu-Nya dari pendapat mereka”[5]
Kelompok lain berkata, “ Musyawarah yang dimaksudkan adalah dalam hal yang tidak ada wahyu tentangnya,” pendapat ini diriwayatkan dari Hasan Al Basri dan Dhahak. Mereka berkata, “Allah SWt tidak memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk bermusyawarah karena Dia membutuhkan pendapat mereka, akan tetapi Dia hanya ingin memberitahukan keutamaan yang ada di dalam musyawarah kepada mereka dan agar umat beliau dapat menauladaninya. [6]
Keempat: Tertera dalam tulisan Abu Daud, dari Abu Hurairah ra. Dia berkata. “Rasulullah SAW bersabda, yang artinya: “Orang yang diajak bermusyawarah adalah orang yang dapat dipercaya”. Para ulama berkata, “Kriteria orang yang layak untuk diajak musyawarah dalam masalah hokum adalah memiliki ilmu dan mengamalkan ajaran agama. Dan criteria ini jarang sekali ada kecuali pada orang yang berakal”. Hasan berkata, “Tidaklah sempurna agama seseorang selama akalnya belum sempurna”.[7]
Maka apabila orang yang memenuhi criteria di atas diajak untuk bermusyawarah dan dia bersungguh-sungguh dalam memberikan pendapat namun pendapat yang disampaikannya keliru maka tidak ada ganti rugi atasnya. Demikian yang dikatakan oleh Al Khaththabi dan lainnya.
Kelima: Kriteria orang yang diajak bermusyawarah dalam masalah kehidupan di masyarakat adalah memiliki akal, pengalaman dan santun kepada orang yang mengajak bermusyawarah.
Sebagian orang berkata, “Bermusyawarahlah dengan orang yang memiliki pengalaman, sebab dia akanmemberikan pendapatnya kepadamu berdasarkan pengalaman berharga yang pernah dialaminya dan kamu mendapatnya dengan cara gratis”.
Keenam: Dalam musyawarah pasti ada perbedaan pendapat. Maka, orang yang bermusyawarah harus memperhatikan perbedaan itu dan memperhatikan pendapat yang paling dekat dengan kitabullah dan sunnah, jika memungkinkan. Apabila Allah SWT telah menunjukkan kepada sesuatu yang Dia kehendaki maka hendaklah orang yang bermusyawarah menguatkan tekad untuk melaksanakannya sambil bertawakal kepada-Nya, sebab inilah akhir ijtihad yang dikehendaki. Dengan ini pula Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya dalam ayat ini.
Ketujuh: Firman Allah SWT “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah”. Qatadah berkata, “Allah SWT memerintahkan kepada Nabi-Nya apabila telah membulatkan tekad atas suatu perkara agar melaksanakannya sambil bertawakal kepada Allah SWT, bukan tawakal kepada musyawarah mereka.
Kedelapan: Firman Allah SWT
“Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”.
Tawakal artinya berpegang teguh kepada Allah SWT sembari menampakkan kelemahan. Para ulama berbeda pendapat tentang Tawakal. Suatu kelompok sufi berkata, “Tidak akan dapat melakukannya kecuali orang yang hatinya tidak dicampuri oleh takut kepada Allah, baik takut kepada bintang buas atau lainnya dan hingga dia meninggalkan usaha mencari rezeki karena yakin dengan jaminan Allah SWT.”[8]
Adapun nilai pendidikan yang dapat kita ambil dari tafsir ayat diatas adalah:
1. Hendaklah kita selalu bersikap lemah lembut terhadap orang lain.
2. Janganlah kita bersikap keras lagi berhati kasar, karena itu akan membuat orang lain menjauh dari kita.
3. Maafkanlah kesalahan orang lain yang pernah berbuat salah kepada kita, walaupun orang itu belum meminta maaf kepada kita.
4. Dan kita sebagai muslim yang baik, hendaknya kita juga meminta ampun untuk orang-orang yang pernah menyakiti kita.
5. Kita dalam memutuskan suatu perkara hendaklah dengan jalan musyawarah, supaya terdapat jalan keluar yang baik dalam perkara itu.
6. Kita juga hendaknya bertawakal kepada Allah SWT setelah kita melakukan musyawarah itu, karena atas kehendak Allah SWT jugalah sesuatu itu akan terjadi.
REFERENSI
Al-Qur’an, Microsoft Office Word
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1980
Tafsir Al-Qurthubi; penerjemahm Dusi Rosyadi, Nashirul Haq, Fathurrahman, editor, Ahmad Zubairin, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008
[1] Qs. Al Mu’minin ayat 40
[2] Tafsir Al-Qurthubi; penerjemahm Dusi Rosyadi, Nashirul Haq, Fathurrahman, editor, Ahmad Zubairin, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hal. 619
[3] Prof. Dr Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1980), hal 129
[4] Ibid, hal 129
[5] Tafsir Al-Qurthubi, op. cit. hal,624
[6] Tafsir Al-Qurthubi, op. cit. hal,624
[7] Tafsir Al-Qurthubi, op. cit. hal,625
[8] Tafsir Al-Qurthubi, op. cit. hal,628-632
sumber : http://jujurlahselalu.blogspot.com/2012/04/makalah-tafsir-tarbawi.html
0 Response to "MAKALAH TAFSIR TARBAWI JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM "
Post a Comment