PROGRAM STUDI PGMI:Antara Dilema dan Harapan



 LAHIRNYA Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) tahun 2007 lebih didasarkan kebutuhan mendesak terhadap adanya kekurangan guru-guru Madrasah Ibtidaiyah (MI). Pada saat itu, MI sering diimaginasikan banyak orang sebagai lembaga “kelas dua”, karena berbagai kondisi permasalahan yang dihadapi lembaga tersebut, mulai dari persoalan pengelolaan (manajemen) yang tidak terstandar, persoalan kelembagaan, kesejahteraan yang pas-pasan, hingga persoalan pengakuan masyarakat terhadap keberadaan  MI.
Semua persoalan yang pada akhirnya berujung pada masalah sumber daya manusia (SDM) yang tidak kompeten, tidak sesuai kualifikasi yang dibuthkan terutama terkait dengan guru, sebagaimana terdapat dalam pasal 42 UU No. 20 tahun 2003 yang menyatakan bahwa “Pendidik harus memiliki kualifikasi minimum dan sertifikasi sesuai dengan jenjang kewenangan mengajar, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Kehadiran Prodi PGMI merupakan salah satu solusi yang dijadikan acuan pemerintah (baca: Kemenag RI) dalam rangka memberdayakan madrasah, terutama terkait dengan pemenuhan kebutuhan guru MI yang kompeten, professional, dan memiliki kualifikasi minimal S1. Bagi Taufiq Siraj, Dosen PGMI IAIN Sunan Ampel dalam tesis penelitiannya menyebutkan bahwa: “Program S-1 PGMI ini menjanjikan sejumlah harapan kepada calon guru MI dengan bekal legalitas sarjana sebagai tenaga pengajar pada MI dengan sertifikasi untuk mengajar di MI. Melalui program S-1 PGMI dapat dijadikan awal dan kesempatan bagi penyiapan guru yang profesional dan ahli pada tingkatan MI serta dapat melahirkan lulusan MI dengan SDM yang baik pada tingkatan lokal dan nasional”. (http://ft.sunan-ampel.ac.id/publikasi/artikel/) Diselenggarakannya Program PGMI akan memberikan sejumlah kematangan bagi seorang sarjana dengan karakteristik dan profil sebagai tenaga pendidik sesuai dengan kapabilitas keilmuan yang dimiliki pada jenjang pendidikan yang dilalui.
Terkait dengan hal tersebut konsekwensi minimum yang harus ditunjukkan lulusan PGMI mampu menjawab persoalan-persoalan keilmuan mendasar yang ada di MI. Oleh karena itu, istilah yang digunakan dalam Permendiknas No. 16 tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Guru, untuk menyebut lulusan S1 PGMI/PGSD adalah Guru Kelas.
Sebagai Guru Kelas MI/SD, yang pertama kali harus dikuasai adalah kemampuan pedagogik guru dalam proses pembelajaran serta penguasaan ilmu yang dibutuhkan menyangkut berbagai hal yang terkait mata pelajaran di MI/SD, yakni Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alama (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan  Pendidikan Kewarganageraan. Kelima mata pelajaran tersebut menjadi beban tanggung jawab guru kelas dalam proses pembelajaran, sementara mata pelajaran yang lain seperti Pendidikan Agama Islam (PAI) (baca: SKI, Fiqh, Akidah Akhlak, Quran Hadis, dan Bahasa Arab), Seni Budaya dan Karya (SBK), olahraga dan kesehatan menjadi beban tugas dari guru mata pelajaran MI/SD.
Berdasarkan pada aturan tersebut, diharapkan semua lulusan PGMI/PGSD dapat menunjukkan kemampuannya minimal dalam 4 kompetensi utama, yakni pedagogik, professional, kepribadian, dan sosial. Jika memang acuan yang manjadi sandaran penyelenggaraan prodi PGMI/PGSD itu sama, maka sudah seharusnya semua lulusan dari kedua lembaga tersebut dapat berkiprah di semua jenjang pendidikan dasar, MI atau SD tanpa harus mempersoalkan “induk” dari keduanya. Selain dapat berkiprah di MI, lulusan PGMI pun semestinya bisa berkontribusi di SD, begitupun sebaliknya.
PGMI = PGSD Plus
Di antara hasil Seminar dan Lokakarya Nasional “Penguatan Kelembagaan Program Studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) Melalui Pengembangan Kurikulum” 28-30 Nopember 2012, disepakati tentang tujuan Prodi PGMI, yakni “Menghasilkan lulusan yang mampu menjadi guru kelas yang mampu mengintegrasikan mata pelajaran dengan nilai-nilai dan wawasan dasar keislaman”.  Integrasi sendiri berasal dari bahasa Inggris "integration" yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi ilmu berarti sebuah proses menyempurnakan atau menyatukan di antara ilmu-ilmu yang selama ini dianggap dikhotomis sehingga menghasilkan satu pola pemahaman yang integrative tentang konsep ilmu pengetahuan. Dalam konteks pemanfaatan ayat kauliyah dan kauniyah berarti memanfaatkan kedua ayat tersebut sebagai sumber yang tidak harus diperdebatkan. Sementara nilai keislaman berarti “suatu keyakinan atau kepercayaan terhadap ajaran-ajaran dan nilai-nilai  Islam yang menjadi dasar bagi seseorang atau sekelompok orang  untuk memilih tindakannya, atau menilai suatu yang bermakna  atau tidak bermakna bagi kehidupannya”. (Muhaimin, bahan presentasi Semiloka Nasional PGMI, 29/11/12)
Terkait dengan konsep integrasi tersebut, Azyumardi Azra, (Azra: Mizan, 2005) mengemukakan ada tiga tipologi respon cendekiawan muslim berkaitan dengan hubungan antara keilmuan agama dengan keilmuan umum. Pertama: Restorasionis, yang mengatakan bahwa ilmu yang bermanfaat dan dibutuhkan adalah praktek agama (ibadah). Kedua: Rekonstruksionis interprestasi agama untuk memperbaiki hubungan peradaban modern dengan Islam. Ketiga: Reintegrasi, merupakan rekonstruksi ilmu-ilmu yang berasal dari al-ayah al-qur’aniyah dan yang berasal dari al-ayah al-kawniyah berarti kembali kepada kesatuan transsendental semua ilmu pengetahuan. Prodi PGMI lahir bukan saja memenuhi tuntutan pragmatis masyarakat Indonesia atas kekurangannya terhadap guru MI, tapi justru keberadaannya telah memberikan warna baru bagi keilmuan “pendidikan dasar” dengan mengedepankan nilai integrasi keilmuan dasar sebagai basis utamanya, serta nilai keislaman yang menjadi ciri keberadaan madrasah. Jika konsep pembidangan ilmu di kedua prodi tersebut (PGSD/MI) dibagi menjadi 4 (empat) bagian, yaitu: 1) kependidikan, 2) konten bidang bahasa Indonesia SD/MI, 3) konten bidang matematika SD/MI, 4) konten bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), 5) konten bidang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan 6) konten bidang Pendidikan Kewarganageraan (PKn), maka terkait dengan penerapan integrasi di maksud adalah bagaimana kelima bidang keilmuan tersebut dilihat dari sudut pandang yang integratif. Satu bidang kajian ilmu harus dilihat dalam sudut pandang yang berbeda, bahkan dalam implementasinya integrasi nilai (termasuk keislaman) harus didukung juga melalalui upaya pembiasaan dalam proses pembelajaran, penerapan manajemen program studi, serta kegiatan ekstrakurikuler. Proses itulah yang seharusnya lahir di prodi PGMI, sehingga PGMI dapat menunjukan “kualitas”, bahkan dapat menjadi prodi PGSD Plus, dengan segenap kemampuannya dalam bidang ilmu-ilmu pendidikan dasar, serta “nilai tambah” keislaman yang ciri utama dari para alumni PGMI. Fz

0 Response to "PROGRAM STUDI PGMI:Antara Dilema dan Harapan "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel