MAKALAH TENTANG : Kerukunan Antar Umat Beragama Di Indonesia
KERUKUNAN DAN KERJASAMA ANTARUMAT BERAGAMA DI INDONESIA
Pendahuluan Sebelum judul makalah ini menyesatkan, rasanya perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan unsur etika dalam sumber daya manusia disini bukanlah bagaimana membina sumber daya manusia secara etis dan berakhlak -- mesti hal ini pun sungguh amat penting -- tetapi apa peranan etika dalam hakikat sumber daya manusia atau etika "ke-SDM-an". Dengan kata lain, makalah ini, sesuai dengan sifat dan ruang yang memungkinkan, akan mencoba membahas bahwa, dalam hakikat sumber daya manusia, tidak hanya penting diperhatikan masalah keahlian sebagaimana yang telah dan umum dipahami dan diterima, tetapi juga penting diperhatikan masalah etika atau akhlak dan keimanan pribadi-pribadi yang bersangkutan. Jadi, sebagaimana benar bahwa SDM yang bermutu ialah yang mempunyai tingkat keahlian yang tinggi, juga tidak kurang benarnya bahwa SDM tidak akan mencapai tingkat yang diharapkan jikatidak memiliki pandangan dan tingkah laku etis dan moral yang tinggi berdasarkan keimanan yang teguh. Biarpun pernyataan seperti diatas itu tentu terdengar sebagai klise (dan orang barangkali akan segera berasosiasi dengan khutbah-khutbah ditempat-tempat ibadat), namun kiranya masih tetap harus sempat dibicarakan dengan serius dan mendalam. Berkenaan dengan ini, barangkali para cendekiawan dengan aspirasi keagamaan mempunyai posisi yang sedikit lebih memungkinkan daripada yang lain-lain, satu dan lain hal karena menyangkut masalah etika dan moral yang kukuh biasanya menyangkut masalah makna dan tujuan, atau apa yang disebut "The problem of ultimacy". Dan makna dan tujuan hidup itu, tidak lagi dapat dibantah, untuk sebagian besar umat manusia bersumber dalam ajaran -ajaran keagamaan, melalui sistem keimanan dan amal perbuatan yang dibawanya.
Asas Kerukunan Antarumat Beragama
Kita sekarang membahas masalah yang amat relevan dengan perkembangan pembangunan bangsa ini bersama-sama, dengan melibatkan berbagai organisasi kecendekiawanan dari bermacam-macam agama. Ini berarti langsung atau tidak langsung mengasumsikan adanya kemungkinan kita bertemu dalam suatu landasan bersama (common platform). Maka sekarang pertanyaannya ialah, adakah titik-temu agama-agama ? Pertanyaan yang hampir harian itu kita ketahui mengundang jawaban yang bervariasi dari ujung keujung, sejak dari yang tegas mengatakan "ada", kemudian yang ragu dan tidak tahu pasti secara sekptis atau agnostis, sampai kepada yang tegas mengingkarinya. Mungkin, mengikuti wisdom lama, yang benar ada disuatu posisi antara kedua ujung itu, berupa suatu sikap yang tidak secara simplistik meniadakan atau mengadakan, juga bukan sikap ragu dan penuh kebimbangan. Karena kita bangsa Indonesia sering membanggakan -- atau dibanggakan -- sebagai bangsa yang bertoleransi dan berkerukunan agama yang tinggi, maka barangkali cukup logis jika jawaban atas pertanyaan diatas kita mulai dengan suatu sikap afirmatif. Sebab logika toleransi, apalagi kerukunan ialah saling pengertian dan penghargaan, yang pada urutannya mengandung logika titik-temu, meskipun, tentu saja, terbatas hanya kepada hal-hal prinsipil. Hal-hal rinci, seprti ekspresi -ekspresi simbolik dan formalistik, tentu sulit dipertemukan. Masing-masing agama, bahkan sesungguhnya masing-masing kelompok intern suatu agama tertentu sendiri, mempunyai idiomnya yang khas dan bersifat esoterik, yakni, "hanya berlaku secara intern". Karena itulah ikut-campur oleh seorang penganut agama dalam urusan kesucian orang dari agama lain adalah tidak
rasional dan absurd. Sebagai misal, agama Islam melarang para penganutnya berbantahan dengan para penganut kitab suci yang lain melainkan dengan cara yang sebaik-baiknya, termasuk menjaga kesopanan dan tenggang rasa -- disebutkan kecuali terhadap yang bertindak zalim -- dan orang Islam diperintahkan untuk menegaskan bahwa kita semua, para penganut kitab suci yang berbeda-beda itu, sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan sama-sama pasrah kepada-Nya.(1)
Bahkan biarpun sekiranya kita mengetahui dengan pasti bahwa seseorang lain menyembah sesuatu obyek sembahan yang tidak semestinya, bukan Tuhan Yang Maha Esa (sebagai sesembahan yang benar), kita tetap dilarang untuk berlaku tidak sopan terhadap mereka itu. Sebab, menurut Al-Qur'an, sikap demikian itu akan membuat mereka berbalik berlaku tidak sopan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesembahan yang benar, hanya karena dorongan rasa permusuhan dan tanpa pengetahuan yang memadai.(2) Terhadap mereka inipun pergaulan duniawi yang baik tetap harus dijaga dan disini berlaku adagium "bagimu agamamu dan bagiku agamaku".(3) Ungkapan ini bukanlah pernyataan yang tanpa peduli dan rasa putus asa, melainkan karena kesadaran bahwa agama tidak dapat dipaksakan dan bahwa setiap orang, lepas dari soal agamanya apa, tetap harus dihormati sebagai manusia sesama makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Sebab Tuhan sendiripun menghormati manusia, anak cucu Adam dimana saja.(4) Sementara demikian itu ajaran tentang hubungan dan pergaulan antarumat beragama -- suatu hubungan dan pergaulan berdasarkan pandangan bahwa setiap agama dengan idiom atau syir'ah dan minhaj masing-masing mencoba berjalan menuju kebenaran (5) -- maka para penganut agama diharapkan dengan sungguh-sungguh menjalankan agamanya itu dengan baik. Agaknya sikap yang penuh inklusifisme ini harus kita fahami betul, karena akal membawa dampak kebaikan bagi kita semua. Bahwa setiap pemeluk agama diharapkan mengamalkan ajaran agamanya dengan sungguh-sungguh, dari sudut pandang Islam dapat dipahami dari sederetan firman ,Tuhan tentang kaum Yahudi, Nasrani dan Muslim sendiri.
Kemudian untuk umat-umat yang lain, seperti telah diteladankan oleh para 'ulamb' dan umarb' Islam zaman klasik, dapat diterapkan penalran analogis. Untuk kaum Yahudi telah diturunkan Kitab Taurat yang memuat petunjuk dan jalan terang, dan yang digunakan sebagai sumber hukum bagi kaum Yahudi oleh mereka yang pasrah kepada Tuhan dan oleh para pendeta dan sarjana keagamaan mereka. Mereka harus menjalankan ajaran bijak atau hukm itu. Kalau tidak, mereka akan tergolong kaum yang menolak kebenaran (kafir).(6) Juga diturunkan hukum yang rinci kepada kaum Yahudi, seperti mata harus dibalas dengan mata, hidung dengan hidung, dan telingan dengan telinga, dan mereka harus menjalankan itu semua. Kalau tidak, mereka adalah orang-orang yang zalim.(7) Kitab Taurat diturunkan Tuhan kepada kaum Yahudi lewat Nabi Musa as. Sesudah Nabi Musa as. dan para Nabi yang lain yang langsung meneruskannya, Tuhan mengutus Isa al-Masih as. dengan Kitab Injil (Kabar Gembira). Para pengikut Isa al-Masih as. menyebut Injil itu "Perjanjian Baru", berdampingan engan Kitab Taurat yang mereka sebut "Perjanjian Lama". Kaum Yahudi, karena tidak mengakui Isa al-Masih as. dengan Injilnya, menolak mengakui keabsahan kedua-duanya sekaligus. Al-Qur'an juga mengatakan bahwa Injil yang diturunkan kepada Isa al-masih as. itu menguatkan kebenaran Taurat dan memuat petunjuk dan cahaya serta nasihat bagi kaum yang bertakwa. Para pengikut Injil diharuskan menjalankan ajaran dalam kitab Suci itu, sesuai dengan yang diturunkan Tuhan. Kalau tidak, mereka adalah fasiq (berkecenderungan jahat).(8)
Asas Kerjasama Antarumat Agama
Jika para penganut agama itu semua mengamalkan dengan sungguh -sungguh ajaran agama mereka, maka Allah menjanjikan hidup penuh kebagaiaan, baik didunia ini maupun dalam kehidupan sesudah mati nanti, diakhirat. Suatu firman yang secara umum ditujukan kepada semua penduduk negeri menjanjikan bahwa kalau memang mereka itu benar-benar beriman dan bertakwa, maka Tuhan akan membukakan berbagai barkah-Nya dari langit (atas) dan dari bumi (bawah).(9) Dan sebuah firman yang ditujukan kepada penganut kitab suci mana saja menyatakan bahwa, kalau mereka benar-benar beriman dan bertakwa maka
Allah akan mengampuni segala kejahatannya dan memasukkan mereka kedalam surga-surga kebahagiaan abadi.(10) Kemudian sebuah firman yang ditujukan kepada kaum Yahudi dan Kristen -- yang langsung atau tidak langsung menunjukkan pengakuan akan hak eksistensi agama dan ajaran mereka -- menjanjikan kemakmuran yang melimpah ruah "dari atas mereka (langit) dan dari bawah kaki mereka (bumi) jika mereka benar-benar menegakkan ajaran Taurat dan Injil dan ajaran yang diturunkan kepada mereka dari Tuhan.(11) Sementara itu, kaum Muslim -- yang dinegeri ini kebetulan merupakan golongan terbesar -- diajari untuk beriman kepada kitab-kitab Taurat dan Injil, ditambah Zabur Nabi Dawud as. dan kepada kitab suci manapun juga. Hal ini dapat disimpulkan dari suatu penegasan kepada Nabi Muhammad saw. bahwa beliau harus menyatakan beriman kepada kitab apa saja yang diturunkan Allah kepada umat manusia. Sikap ini ada dalam rangkaian petunjuk dasar hubungan beliau dengan agama-agama yang ada, yang berdasarkan kitab suci.(12)
Logika beriman kepada kitab suci manapun juga yang telah diturunkan Tuhan ialah karena Tuhan telah mengutus Utusan yang membawa ajaran kebenaran kepada setiap umat(13) dan sebagian dari para Utusan itu diturukan dalam Al-Qur'an sebagian lagi tidak.(14) Kemudian ajaran kebenaran itu memang sebagian besar disampaikan secara lisan (sehingga kebanyakan Nabi dan Rasul yang dituturkan dalam Al-Qur'an, maka logis saja bahwa begitu pula halnya dengan kitab-kitab suci, tidak semuanya disebutkan dalam Al-Qur'an. Pandangan serupa ini telah dikembangkan oleh para "ulama" Islam, klasik maupun modern, seperti Rasyid Ridla yang mengatakan : Yang nampak ialah bahwa Al-Qur'an menyebut para penganut agama-agama terdahulu, kaum Sabi'in dan Majusi, dan tidak menyebut kaum Brahma [Hindu], Budha dan para pengikut Konfusius karena kaum Sabi'in dan Majusi dikenal oleh bangsa Arab yang menjadi sasaran mula-mula adres Al-Qur'an, karena kaum Sabi'in dan Majusi itu berada berdekatan dengan mereka di Irak dan Bahrain, dan mereka [orang-orang Arab] belum melakukan perjalanan ke India, Jepang dan Cina sehingga mereka mengetahui golongan yang lain. Dan tujuan ayat suci telah tercapai dengan menyebutkan agama-agama yang dikenal [oleh bangsa Arab], sehingga tidak perlu membuat keterangan yang terasa asing [ighrab] dengan menyebut golongan yang tidak dikenal oleh orang yang menjadi adres pembicaraan itu dimasa turunnya Al-Qur'an, berupa penganut agama-agama lain. Dan setelah itu tidak diragukan mereka [orang Arab] yang menjadi adres pembicaraan [wahyu] itu bahwa Allah juga akan membuat keputusan perkara antara kaum Brahma, Buddha, dan lain-lain.(15)
Dizaman klasik, Ibn Taymiyah juga sudah terlibat dalam usaha menjelaskan kepada anggota masyarakat masalah para pengikut suci ini, dengan penjelasannya yang sejalan dengan apa yang kemudian dipertegas oleh Rasyid Ridla di atas itu.(16) Tetapi lebih penting lagi ialah pendapat Ibn Taymiyah bahwa dalam kitab-kitab suci terdahulu itu, diluar perubahan oleh tangan manusia yang mungkin menyimpangnya, sampai sekarang masih terdapat unsur-unsur ajaran yang berlaku, termasuk untuk umat Islam.(17) Ayatullah Khomeini, pemimpin revolusi Iran, juga berpendapat sama, dengan menegaskan bahwa beriman kepada para Nabi terdahulu tidak berarti sekedar mengetahui adanya para Nabi itu dan membenarkan tugas mereka sebagai pengemban syari'at, tetapi jelas mengandung arti memikul atau menerima dan melaksanakan syari'at mereka juga, sepanjang syari'at itu bukan bagian yang diabrogasikan oleh Al-Qur'an dan Nabi Muhammad saw.(18)
Masalah Etika: Dari Bukit Sinai ke Bukit Zaitun terus ke Makkah
Kami merasa, dan kuatir, telah melakukan pejelajahan terlalu jauh dalam wilayah teologis tentang asas-asa kerukunan saling penghargaan, dan kerjasama antara umat berbagai agama. Tapi semoga itu dibenarkan oleh perlunya membahas secukupnya hal tersebut, mengingat hal yang amat besar itu tidak disadari oleh umat beragama sendiri dizaman akhir ini, akibat masing -masing menjadi tawanan (the captives) dari kepentingan-kepentingan jangka pendek atau expediency, dan terlupa dari prinsip-prinsip.
Penjelajahan diatas itu pun dilakukan dengan cukup kesadaran tentang adanya sikap-sikap skeptis terhadap peranan agama dalam kehidupan modern, yaitu bila dipandang secara empiris -historis dalam abad-abad terakhir ini. Kecenderungan apologetik mengatakan bahwa yang salah bukanlah agamanya, melainkan para pemeluknya. Dengan kata lain para pemeluk agama telah mengalami alienasi dari agamanya sendiri, atau agama menjadi terasi asing karena tidak cocok dengan harapan penuh nafsu (nafsu memusuhi, membenci, menyerang dan lain-lain akibat salah pengertian, kurangnya saling berkomunikasi atau karena warisan-warisan masa lalu yang tidak terlalu jauh seperti zaman kolonial dan seterusnya). Dalam Islam sendiri, menurut sebuah sabda nabi (Hadis) juga ada peringatan bahwa agama itu datang sebagai "hal yang aneh" dan nanti akan kembali menjadi "hal yang aneh" lagi seperti semula. Maka para pemikir Islam seperti Muhammad 'Abduh mengatakan bahwa "Islam tertutup oleh kaum Muslim sendiri", atau seperti dikatakan oleh Karena Armstrong, berkenaan dengan kedudukan kaum wanita dalam Islam sekarang Islam, sama dengan agama Kristen telah "dibajak" oleh para pemeluknya sendiri dengan memberi tafsiran dan penalran yang sesungguhnya tidak dimaksudkan oleh kitab suci Al-Qur'an.(19) Kalau itu semua betul, maka bagaimana dengan ide "memperkenalkan kembali" ajaran agama kepada para pemeluknya sendiri ? Suatu kegiatan yang salah-salah akan tampil sangat pretensius, namun tentu tidak ada jeleknya jika dicoba. Diatas tadi disebutkan bahwa, menurut Ibn Taymiyah dan Ayatullah Khumaini -- yang masing-masing mewakili secara berturut-turut dunia pemikiran Islam Sunni-Hanbali dari zaman klasik dan dunia pemikiran Islam Syi'i-Ja'fari dari zaman modern -- beriman kepada Nabi berarti menerima dan mengikuti ajaran mereka ["yang masih absah", yakni, tidak terkena pembatalan atau abrogasi, naskh]. Maka yang langsung terkait dengan persoalan etika sumber daya manusia disini ialah inti ajaran agama-agama, yang secara simbolik-representatif dicerminkan pada kontinuum inti ajaran tiga agama Semitik (atau Abrahamik) Yahudi, Kristen dan Islam, dan yang secara prinsipil analog dengan inti ajaran agama-agama yang lain dikalangan umat manusia.
Inti ajaran agama
Semitik itu, setidaknya demikian menurut banyak ahli tafsir Al-Qur'an, menjadi dasar bagi adanya sumpah Illahi dengan pohon tin (Inggeris : fig), pohon zaitun, bukit Sinai dan negeri yang sangat aman, Makkah.(20) Pohon tin adalah pohon yang umum tumbuh subur di sekitar Laut Tengah bagian timur, khususnya Palestina. Tuhan menyebutkan pohon itu sebagai isyarat kepada negeri itu, khususnya Kanaan, sebagai negeri tempat Ibrahim memantapkan dirinya dalam mengemban tugas membawa Ketuhanan Yang Maha Esa kepada umat manusia (yang oleh Ibrahim, dengan meminjam istilah masyarakat setempat saat itu, Tuhan Yang Maha Esa itu disebut El -- yakni, Tuhan atau Sesembahan -- atau El Eyon -- yakni Tuhan yang Maha Tinggi, Al-Lbh Ta'bla).(21) Dinegeri itu pula Ibrahim, dalam usianya yang lanjut, dianugerahi dua orang putra dari dua orang isteri, yaitu Ismail (Ishma-El, "Tuhan telah mendengar") dan Ishaq (Izaak, "Ketawa"), dan dari Ishaq kemudian Ya'qub (Israil, Isra-El, "hamba Tuhan") tampil para Nabi (al-Asbbth). Dan masih di Palestina pula -- tempat banyak tumbuh pohon zaitun -- Isa al Masih as. tampil, dengan sari ajaran yang disampaikannya dalam khotbah dari atas bukit Zaitun. Inilah relevansi sumpah Allah dengan pohon atau bukit Zaitun itu. Bukit Sinai (Arab: Th{r Snnb) adalah bukit atau gunung tempat Nabi Musa as. menerima Sepuluh Perintah (The Ten Commandments, al-Kalimbt al-'Asyr) dari Tuhan yang merupakan perjanjian antara Tuhan dengan kaum Israil (Anak turun Israil atau Ya'qub), dan menjadi inti kitab Taurat. Inilah inti dari apa yang oleh orang Barat sering dinamakan pandangan hidup Judeo-Christian (Yahudi-Kristen), yang dinilai sebagai dasar pandangan etis dan moral peradaban Barat pada umumnya. Dalam Alkitab "Sepuluh Perintah" Allah itu, ringkasnya, sebagai berikut:(22)
- Janganlah menyembah selain Allah
2. Jangan membuat patung berhala
3. Jangan menyembah patung berhala
4. Jangan menyebut nama Allah dengan sia-sia
5. Ingatlah hari Sabtu (Shalat, Istirahat)
6. Jangan membunuh
7. Jangan berbuat zina
8. Jangan mencuri
9. Jangan bersaksi palsu dan dusta kepada sesamamu manusia
10. Jangan menginginkan rumah orang lain, istrinya dan barang-barang miliknya.
1. Janganlah memperserikatkan Allah dengan apapun juga
2. Berbuatlah baik kepada kedua orang tua (ayah-ibu)
3. Janganlah membunuh anak karena takut kemiskinan
4. Jangan berdekat-dekat dengan kejahatan, baik yang lahir maupun yang batin
5. Jangan membunuh sesama manusia tanpa alasan yang benar
6. Jangan berdekat-dekat dengan harta anak yatim, kecuali dengan cara yan gsebaik-baiknya
7. Penuhilah dengan jujur takaran dan timbangan
8. Berkatalah yang jujur (adil), sekalipun mengenai kerabat sendiri
9. Penuhilah semua perjanjian dengan Allah
10. Ikutilah jalan lurus Allah dengan teguh.
Tafsir al-Manbr (oleh Syeikh Muhammad 'Abduh dan Rasyid Ridha) menguraikan panjang lebar "Wasiat" Allah yang sepuluh itu dalam konteksnya dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Tafsir al-Manbr juga menyebutkan bahwa "Sepuluh Wasiat" Allah itu sama semangatnya dengan "Sepuluh Perintah" (al-Kalimbt al-'Asyr, The Ten Commandments) dari Allah kepada Nabi Musa as. yang diterimakan kepadanya diatas bukit Sinai, meskipun, seperti nampak jelas dari kutipan diatas, nuktah spesifik masing-masing sedikit berbeda.(24) Unsur Etika dalam SDM Indonesia Kita bangsa Indonesia biasa menyebutkan bahwa Pancasila adalah sumber segala sumber pandangan kemasyarakatan dan kenegaraan kita, karena ia adalah dasar negara. Sejajar dengan itu, kita juga suka mengatakan bahwa sumber daya manusia Indonesia adalah sumebr daya manusia yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila. Lepas dari kenyataan bahwa ungkapan-ungkapan serupa itu, lagi-lagi, terdengar sloganistik dan klise, namun jelas tetap mengandung kebenaran. Masalahnya disini ialah bagaimana kita melihatnya secara relevan. Ini kita mulai dengan menyadari bahwa nilai-nilai Pancasila adalah "titik-temu" semua pandangan hidup yang ada di negeri kita, termasuk pandangan hidup yang dirangkum oleh agama-agama. Dan nilai-nilai Pancasila itu, baik potensial maupun aktual, telah terkandung dalam ajaran semua agama (jika tidak, maka bagaimana mungkin kita yang mendapatkan makna tujuan hidup dalam agama itu dapat menerima nilai-nilai Pancasila). Oleh karena itu Pancasila dapat dipandang sepenuhnya sebagai titik temu agama-agama di Indonesia juga. Dan karena mencari, menemukan dan mengajak kepada titik temu antara umat yang berbeda-beda itu sendiri adalah perintah agama,(25) maka menemukan dan mengajak bersatu dalam Pancasila adalah juga perintah agama. Berdasarkan nuktah-nuktah yang telah dicoba paparkan diatas tadi, maka kiranya jelas bahwa SDM tidaklah cukup hanya menekankan keahlian dan keterampilan teknis semata. Betapapun pentingnya segi ketrampilan dan keahlian teknis itu -- dan memang mustahil terwujuk SDM dengan kemampuan optimal tanpa itu semua -- namun, ditinjau dari sudut manusia sebagai keseluruhan yang utuh, yang menjadi subjek pembangunan dan tidak menjadi objek pembangunan, maka keterampilan dan keahlian itu semua nilainya adalah instrumental, bukan intrinsik. Sebagai kenyataan yang bernilai instrumental, itu semua harus "mengabdi" kepada yang bernilai instrinsik, yaitu diwujudkan demi nilai kemanusiaan itu sendiri, dan bukan sebaliknya, manusia dipandang sebagai "berharga" hanya karena unsur keahlian dan keterampilannya semata. Bertitik tolak dari hal itu, dan berdasarkan bahwa semua penganut agama harus mengamalakan 2. Berbuatlah baik kepada kedua orang tua (ayah-ibu)
3. Janganlah membunuh anak karena takut kemiskinan
4. Jangan berdekat-dekat dengan kejahatan, baik yang lahir maupun yang batin
5. Jangan membunuh sesama manusia tanpa alasan yang benar
6. Jangan berdekat-dekat dengan harta anak yatim, kecuali dengan cara yan gsebaik-baiknya
7. Penuhilah dengan jujur takaran dan timbangan
8. Berkatalah yang jujur (adil), sekalipun mengenai kerabat sendiri
9. Penuhilah semua perjanjian dengan Allah
10. Ikutilah jalan lurus Allah dengan teguh.
agamanya dengan baik, maka segi etika SDM Indonesia ialah :
1. Keimanan dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa SDM Indonesia yang menyadari tentang adanya asal dan tujuan hidup yang lebih tinggi daripada pengalaman hidup duniawi atau terrestrial ini. Asal dan tujuan hidup itu melambung dan menembus petala-petala langit yang tujuh, menuju kepada perkenan dan ridla Allah, mencapai penyatuan eksistensi nisbi manusia dengan Eksistensi mutlak Ilahi.
2. Karena dasar keimanan dan takwa itu maka SDM Indonesia bekerja tidak dengan keyakinan keliru bahwa kebahagiaannya sebagai manusia utuh terletak dalam ekspediensi fisik dan material, tetapi dalam peningkatan kualitas jiwa dan ruhani. Dengan begitu ia tidak tersesat masuk kedalam sikap-sikap mementingkan diri sendiri dan memenuhi keinginan rendah diri sendiri.
3. Dengan perkataan lain, SDM Indonesia bersumber dari manusia yang mampu mengingkari diri sendiri (melakukan self denial), bebas dari dorongan mencari kenikmatan hidup lahiri semata (pleasure seeking), dan dari sifat-sifat tamak, loba, rakus dan mementingkan diri sendiri.
4. Karena itu SDM Indonesia berpangkal dari semangat dan kemampuan menunda kesenangan sementara. Ia berpegang teguh pada prinsip "deferred gratification" atau ganjaran kenikmatan yang tertunda, karena yakin dibelakang hari, dalam jangka panjang, ada kebahagiaan yang lebih besar dan lebih hakiki.
5. Jadi SDM Indonesia, karena dasar keimanan dan takwanya itu, mampu berfikir dan mengembangkan tingkah laku atas dasar prinsip "Berakit-rakit dahulu, berenang-renang ketepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian". Yaitu prinsip, dalam bahasa Jawa, "wane ngalah duwur wekasani" (berani mengalah namun akhirnya menang), yang seperti juga dikatakan dalam bahasa Inggris, "You may lose the battle but you should win the war".
6. Kelanjutan logisnya ialah bahwa SDM Indonesia adalah manusia yang tabah, gigih, tahan menderita, karena yakin kepada masa depan. Karena keimanan dan takwanya, ia senantiasa berpengharapan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga sesuatu yang dikehendakinya jika toh tidak terwujud sekarang, ia yakin akan terwujud besok, atau lusa, atau minggu depan, atau bulan depan, atau tahun depan, bahkan atau dalam kehiduapan akhirat sesudah kematian.
7. Karena ketabahan dan harapan itu ia bekerja dengan dorongan batin atau motivasi yang tinggi dan kuat. Ia tekun, rajin, produktif, dan senantiasa menggunakan waktu lowong untuk kerja keras yang menghasilkan sesuatu. Ia bukanlah tipe manusia yang mencari "apa enaknya", tetapi menuntut "apa baiknya".
8. Keimanan dan takwa tersebut memberi kesadaran SDM Indonesia akan "tempat"-nya dalam peta kosmis eksistensi dirinya, berdasarkan kesadaran tentang "asal dan tujuan" hidup, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Innb li 'l-Lbh wa innb ilaih-i rbji'{n). Karena itu ia mendapati dirinya dalam keadaan mantap, utuh, tenang dan tenteram.
9. Maka tidak ada padanya dorongan untuk hidup mewah dan berlebihan (hidup berlebihan adalah ciri kepribadian yang tidak tenang dan selalu mencari kompensasi). Sebaliknya, ia hidup sederhana, penuh kepuasan positif (yaitu [Arab] qanb'ah, bukan [Inggris] complacency), hemat, rendah hati dan bebas dari nafsu pamer atau penyakit "demonstration effect".
10. Karena kualitas-kualitas pribadinya yang tinggi itu maka seorang SDM Indonesia mampu bersikap dan berlaku adil, jujur dan fair meskipun terhadap diri sendiri, kerabat dan handai taulan. Ia tidak mudah tenggelam dalam rasa cinta sehingga buta terhadap kekurangan orang, tidak pula dirasuk habis rasa benci sehingga tertutup kebaikan orang.
11. Maka jika seorang SDM Indonesia berhasil atau sukses, ia tidak gegabah mengaku keberhasilan dan kesuksesannya adalah ebrkat kemampuan dirinya sendiri. Ia sadar bahwa "tidak ada daya dan tidak pula kemampuan kecuali dengan Allah Yang Maha Agung". Dalam keadaan rendah hati itu ia melihat apapun menjadi bagian keberhasilannya sebagai amanat Tuhan Yang Maha Esa, lalu ia baktikan kepada-Nya melalui kesadaran pemenuhan fungsi sosial harta kekayaan.
Itulah kira-kira segi-segi etika sumber daya manusia Indonesia. Berbagai kajian ilmiah tentang masyarakat manusia mengatakan bahwa kualitas-kualitas pribadi seperti itu, kurang lebih adalah faktor yang amat penting dan jauh lebih penting dari ada banyak yang lain, yang menentukan kemampuan optimal kinerja sumber daya manusia, termasuk produktifitas, yang diperlukan bagi kemajuan masyarakat, bangsa dan negara. Karena itu para ahli mengamati bahwa negara yang maju, atau yang dalam proses menuju kemajuan, senantiasa menunjukkan ciri-ciri orientasi etis yang kuat atau tegar (ethically tought, yakni, masalah benar-salah, baik buruk mampu dilihat dan disikap dengan jelas, tegas dan tidak kenal kompromi). Sedangkan negara yang tertinggal umumnya berwasasan etika yang lemah (ethically soft, yakni, masalah benar-salah dan baik-buruk tidak mampu dilihat dan disikapi dengan tegas, melainkan cenderung untuk diremehkan atau diabaikan, "toned down", "played down"). (Berkenaan dengan inilah sungguh amat disayangkan dan merupakan pertanyaan besar mengapa bangsa Indonesia yang dikenal bangsa dengan jiwa keagamaan yang bergairah ini justru dalam masalah etika dikenal sebagai bangsa yang lembek atau lunak, soft).
Penutup
Jelas bahwa semua apa yang dicoba jabarkan diatas itu ada dalam bingkai apa yang seharusnya, yang normatif. Pengetahuan tentang yang normatif belaka tidak cukup dan tidak membawa hasil nyata. Yang diperlukan adalah juga segi-segi operatif yang praktis. Sudut pandang ini benar semata. Tetapi juga dapat dipertanyakan, jika kita tidak tahu dan tidak menyadari, apa yang seharusnya yang normatif, maka apakah kita masih punya ruang untuk bicara tentang pedoman, prinsip dan nilai-nilai asasi ? Semuanya ini perlu, karena semuanya akan menuntun manusia, jika memang mengandung kebenaran. Disinilah peranan dari agama-agama di Indonesia. Yaitu mempertinggi dan memperkukuh kesadaran akan nilai-nilai asasi itu, agar manusia tidak jatuh kepada godaan pragmatisme yang tak terkendali seperti sering terdengar mulai dikuatirkan orang. Tapi sikap skeptis pun masih tetap selalu muncul, seberapa jauhkah agama memang benar-benar berperan, mengingat kenyataan sering mendemonstrasikan antara keadaan dan klaim-klaim peran agama itu. Barangkali jawabannya dapat kita temukan dalam apa yang oleh Armstrong, sebagaimana dikutip pada bagian terdahulu, bahwa agama sering dibajak (hijacked) oleh pemeluknya sendiri. Salah satu bentuk (hijacked) terhadap agama itu ialah jika para pemeluk menjadi lebih mementingkan bentuk daripada isi, simbul daripada substansi. Nampaknya persoalan ini bukan hanya muncul dizaman mutakhir, melainkan sudah menjadi masalah manusia sepanjang masa. Dizaman Palestina purba, Nabi Isaiah pernah dengan gemas menyampaikan firman Yahweh (nama Tuhan Yang Maha Esa menurut Nabi Musa sebagaimana ia dapatkan dari mertuanya, Syu'aib, seorang nabi dari negeri Madyan) yang penuh kemurkaan: Kamu boleh sembahyang banyak-banyak, Aku tak kan dengarkan ! Tanganmu berlumuran darah, Cucilah dan bersihkan dirimu! Singkirkan kejahatanmu itu dari pandangan Ku Berhentilah berbuat baik! Belajarlah berbuat baik ! Cari keadilan ! Bantu kaum tertindas ! Perhatikan anak-anak yatim Santuni janda-janda miskin.(26)
Dalam Islam pun peringatan agar orang tidak hanya mementingkan simbul dan formalitas, melainkan lebih memperhatikan isi dan substansi, dinyatakan sebagai berikut :
Kebajikan itu bukanlah kamu menghadapkan wajah-wajahmu kearah timur atau barat, melainkan kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, Hari Kemudian, para Malaikat, Kitab-kitab suci dan para Nabi. Dan orang itu mendermakan hartanya, betapapun
cintanya kepada harta itu, untuk kaum kerabat, anak-anak yatim, kaum miskin, orang terlantar dijalan, orang meminta-minta dan orang yang terbelenggu perbudakan. Dan orang itu menegakkan shalat, menunaikan zakat. Dan orang itu menempati janji mereka mengikat janji, tabah dalam kesulitan, kesusahan dan bencana. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang takwa.(27)
Begitulah barangkali gambaran sederhana bentuk tantangan para agamawan Indonesia dalam mengembangkan unsur etika sumber daya manusia.Wallahu a'lam. (God Knows best).
CATATAN
1. (1) Dalam kitab suci Al_Qur'an larangan itu lengkapnya diungkapkan demikian : "Kamu janganlah berbantahan dengan para penganut kitab suci [yang lain] melainkan dengan sesuatu [cara] yang lebih baik [sopan, tenggang rasa, dll.] terkecuali terhadap orang-orang yang zalim dari mereka. Dan nyatakanlah, 'Kami beriman dengan ajaran [kitab suci] yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kamu. Tuhanku dan Tuhanmu adalah Satu dan kita [semua] pasrah [muslimin] kepada-Nya'" (QS. Al-Ankabut 29 :46). Dalam konteks Al-Qur'an, para penganut kitab suci yang lain itu ialah kaum Yahudi dan Nasrani. Tetapi Nabi saw. dan para sahabat kemudian diteruskan oleh para ulama, sejak dari yang klasik sampai yang modern, memberlakukan ketentuan itu untuk para penganut agama lain seperti para pemeluk Zoroasterianisme, hinduisme, Buddhisme, Konfusianisme, Shintoisme, dll. Sebab Tuhan telah ngutus Utusan ke setiap bangsa atau umat yaitu para pengajar kebenaran atau kearifan (wisdom, hikmah). Sebagian dari para Utusan itu dituturkan dalam Al-Qur'an, dan sebagian tidak.
2. (2) Tentang hal amat penting ini, yang tidak banyak disadari oleh para pengamat agama sendiri, dijelaskan dalam Al-Qur'an demikian: "Kamu janganlah mencela mereka yang menyeru selain Allah [al-Lbh, al-Ilbh, sesembahan yang sebenarnya], sebab mereka akan mencela Allah karena rasa permusuhan tanpa dasar pengetahuan. Begitulah Kami [Allah] buat indah [dibuat indah bagaikan perhiasan] untuk semua umat segala perbuatan mereka, kemudian kepada Tuhan mereka lah tempat kembali mereka semua dan Dia [Tuhan] akan menjelaskan segala sesuatu yang telah mereka kerjakan " (QS Al-An'am 6:108). Jadi, untuk setiap umat, perbuatan mereka, khususnya yang berkenaan dengan keagamaan, akan selalu nampak dan dirasakan sebagai indah, baik-baik saja, meskipun sesungguhnya salah. Maka ajakan kepada kebenaran, jika kita merasa yakin memiliki kebenaran itu, harus dilakukan hanya dengan cara-cara yang penuh kebijakan, kearifan, tutur kata yang baik dan argumentasi yang masuk akal dan sopan -- lihat Al-Qur'an S. An-Nahl 16:125).
3. (3) Sebuah surat pendek dalam Al-Qur'an mengajarkan akan hal ini: "Katakanlah (wahai Muhammad), 'Hai orang-orang yang menolak kebenaran, aku tidaklah menyembah yang kalian sembah dan kalian pun tidak menyembah yang aku sembah. Sungguh, aku bukanlah penyembah yang kalian sembah dan kalian pun bukanlah para penyembah yang aku sembah. Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku" (QS. Al-Kbfir{n (10)9:1-6).
(4) Lihat Al-Qur'an S. Al-Isra' 7:70. "Dan sungguh Kami [Tuhan] telah muliakan anak cucu Adam dan Kami tanggung [lindungi] mereka didaratan maupun dilautan."
4. (5) Pandangan dasar bahwa Tuhan Yang Maha Esa telah metapkan idiom, metode, cara dan jalan untuk masing-masing kelompok manusia sehingga antara sesama mereka tidak dibenarkan terjadi saling menyalahkan dan memaksa satu atas lainnya untuk mengikut idiom, cara, metode dan jalannya sendiri, melainkan mereka hendaknya, berangkat dari posisi masing-masing, berlomba-lomba meraih dan mewujudkan berbagai kebaikan, ditegaskan dalam Al-Qur'an demikian : "Dan Kami [Tuhan] turunkan kepada engkau [Muhammad] Kitab Suci [Al-Qur'an] sebagai pendukung kebenaran kitab suci yang ada sebelumnya dan untuk menopang kitab suci itu. Maka jalankanlah hukm [ajaran bijak] antara mereka menurut yang diturunkan Allah, dan janganlah mengikuti keinginan mereka menjauh dari kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk masing-masing diantara kamu [umat manusia] telah Kami buatkan syir'ah [jalan menuju kebenaran] dan minhaj [metode pelaksanaannya]. Seandainya Allah menghendaki tentulah Dia jadikan kamu sekalian [umat manusia ] umat yang tunggal. Tetapi [dibuat bermacam-macam] agar Dia uji kamu sekalian berkenaan dengan hal-hal [jalan dna metode] yang telah dianugerahkan kepada kamu itu. Maka berlomba-lombalah kamu sekalian menuju kepada berbagai kebaikan. Kepada Allah tempat kembalimu sekalian, maka Dia akan menjelaskan kepadamu tentang hal-hal yang telah pernah kamu perselisihkan". (QS. Al-Mb'idah 5:48).
5. (6) Penegasan ini terbaca dalam Al-Qur'an sebagai berikut: "Sesungguhnya Kami [Tuhan] telah turunkan Taurat, didalamnya adalah petunjuk dan cahaya, yang dengan kitab itu para Nabi yang pasrah [aslam{] [kepada Tuhan] menjalankan hukm [ajaran bijak] untuk mereka yang menganut agama Yahudi, juga para Rabi dan ulama mengikuti Kitab Allah yang mereka selalu pelihara dengan baik, dan mereka menjadi saksi atas kitab itu. [Tuhan berfirman kepada mereka]: 'Janganlah kamu takut sesama manusia dan takutlah kepada-Ku dan janganlah kamu menjual ayat-ayat-Ku dengan harga murah. Barang siapa tidak menjalankan hukm dengan yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir'" (QS. Al- Mb'idah 5:44).
6. (7) Ini disebutkan dalam rangkaian ayat diatas, yaitu al-Qur'an S. Al- Ma'idah 5:45).
(8) Jadi setelah dituturkan perihal Nabi Musa as. dan Kitab Taurat serta kaum Yahudi, dituturkan pula perihal Nabi Isa al-Masih as. dengan Injilnya dan kaum Nasrani yang menganutnya. Lalu ditegaskan bahwa kaum Nasrani harus menjalankan ajaran kebenaran yang ada dalam Injil itu,sesuai dengan yang telah diturunkan Tuhan: "Dan Kami [Tuhan] tampilkan mengiringi jejak mereka dengan Isa putra Maryam untuk mendukung kebenaran Taurat yang ada sebelumnya,dan Kami anugerahi dia Injil yang didalamnya adalah hidayah dan cahaya sebagai pendukung kebenaran Taurat yang ada sebelumnya serta sebagai nasihat bagi orang-orang yang bertakwa. Hendaklah para pengikut Injil itu menjalankan ajaran bijak [hukm] menurut yang diturunkan Allah dalam Injil itu. Barangsiapa tidak menjalankan hukm menurut yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang fasiq". (QS. Al- Ma'idah 5:46-47).
7. (9) Firman Allah itu terdapat dalam al-Qur'an surat al-A'raf 7:96, artinya demikian: "Jika benar-benar penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa maka Kami bukakan segala barkah dari langit dan bumi."
(10) Al-Qur'an S. Al- Ma'idah 5:65: "Jika para penganut kitab suci [mana saja] benar-benar beriman dan bertakwa maka pastilah Kami [Tuhan] ampuni segala keburukannya dan pasti Kami masukkan kesurga-surga kebahagiaan abadi."
(11) Al-Qur'an S. Al- Ma'idah 5:66: "Kalau mereka itu benar-benar menegakkan ajaran Taurat dan Injil serta yang diturunkan kepada mereka dari Tuhan mereka, maka pastilah mereka akan makan [mendapat rizki, mengalami kemakmuran] dari atas mereka [langit] dan dari bawah kaki mereka [bumi]. Dan mereka ada umat yang menempuh jalan kebenaran dan banyak dari mereka yang tidak baik tingkah lakunya."
8. (12) Yaitu firman Allah: "Oleh karena itu, hai Muhammad, tinggalkan mereka, dan tetaplah tegak sebagaimana engkau diperintahkan, dan janganlah mengikuti keinginan-keinginan [subyektif] mereka, serta katakanlah, 'Aku beiman dengan kitab suci mana pun yang diturunkan Allah, dan aku diperintahkan untuk bersikap jujur [adil, fair] antara kalian. Allah adalah Tuhan kami dan Tuhan kalian. Bagi kami amal-bakti kami, dan bagi kalian amal-bakti kalian. Tidak perlu pertengkaran antara kami dan kalian. Allah akan mengumpulkan kita semua dan kepada-Nya itulah tempat semuanya kembali'" (QS. Asy-Sy{rb 42:15).
9. (13) Antara lain, al-Qur'an S. an-Nahl 16:26: "Sungguh Kami [Tuhan] telah membangkitkan dalam setiap umat seorang Rasul [yang mengajarkan], 'Sembahlah olehmu sekalian Allah [saja] dan jauhilah tirani ...' ."
10. (14) Antara lain al-Qur'an S. al-Mu'min 40:78: "Sungguh Kami [Tuhan] telah utus banyak Utusan sebelum engkau [Muhammad], diantara mereka ada yang Kami kisahkan kepada engkau dan diantara mereka ada yang tidak Kami kisahkan kepada engkau."
(15) Lihat pembahasan ini dalam rangkaian pembahasan yang cukup lengkap oleh al-Sayyid Muhammad Rasyid Ridla,d alam kitab tafsirnya yang terkenal, Tafsir al-Manbr, 12 jilid (Dbr al-Fikr, tanpa tahun), jil.6, hlm. 185-190).
11. (16) Untuk pembahasan lebih lengkap tentang argumen Ibn Taymiyah ini, lihat Ibn Taymiyah, Ahk'bm al Zawaj (Beirut: Dbr al-Kutub al-'Ilmiyah, 1408 H/1988 M), hlm. 188-190, sebagai berikut : Sesungguhnya Ahli Kitab tidaklah termasuk kedalam kaum musyrik. Menjadikan [memandang] Ahli Kitab sebagai bukan kaum musyrik dengan dalil firman Allah: "Sesungguhnya mereka yang beriman, dan mereka yang menjadi Yahudi, kaum Sabi'in, kaum Nasrani dan kaum Majusi serta mereka yang melakukan syirik ..." [QS. al-Hajj 22:17]. Kalau dikatakan bahwa Allah telah menyifati mereka itu dengan syirik dalam firmannya, "mereka [Ahli Kitab] itu mengangkat para ulama dan pendeta-pedeta mereka, serta Isa putra Maryam, sebagai tuhan-tuhan selain Allah, padahal mereka tidaklah diperintah melainkan agar hanya menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang tiada Tuhan selain Dia. Maha Suci Dia dari apa yang mereka persekutukan itu" [QS al-Taubah 9:31], maka karena [Allah] menyifati mereka bahwa mereka telah melakukan syirik, dan karena syirik itu adalah suatu hal yang mereka ada-adakan [sebagai bid'ah] yang tidak diperintahkan oleh Allah, wajiblah mereka itu dibedakan dari kaum musyrik, sebab asal-usul agama merka ialah mengikuti kitab-kitab yang diturunkan [dari Allah] yang membawa ajaran tauhid, bukan ajaransyirik. Jadi jika dikatakan bahwa Ahli Kitab itu dengan alasan ini bukanlah kaum musyrik, karena kitab suci yang berkaitan dengan mereka itu tidak mengadung syirik, sama dengan jika dikatakan bahwa kaum Muslim dan umat Muhammad tidaklah terdapat pada mereka itu [syirik] dengan alasan ini, juga tidak ada paham ittihbdiyah [monisme], rafdhiyah [paham politik yang menolak keabsahan tiga khalifah pertama], penolakan paham qadar [paham kemampuan manusia untuk memilih, dapat juga yang dimaksudkan ialah qadar dalam arti takdir], ataupun bid'ah-bid'ah yang lain. Meskipun sebagian mereka yang tergolong umat [Islam] menciptakan bid'ah-bid'ah itu, namun umat Muhammad saw. tidak aakan bersepakat dalam kesesatan. Karena itu selalu ada dari mereka orang yang mengikuti ajaran tauhid, lain darikaum Ahli Kitab. Dan Allah 'azza wa jalla tidak pernah memberitakan tentang Ahli Kitab itu dengan nama "musyrik" ...
12. (17) Keterangan yang amat menarik dari Ibnu Taymiyah itu demikian : Jadi al-Qur'an itu dijadikan pelindung, dan pelindung itu ialah saksi pemutus yang terpercaya. Maka dia [Nabi Muhammad saw.] menjalankan hukm dengan yang ada dalam [Kitab-kitab suci yang terdahulu] itu selama belum di-naskh [diganti] oleh Allah, dan dia bersaksi dengan menerima kebenaran ajaran yang ada didalamnya, selama belum diganti. Karena itulah Allah berfirman, "Untuk masing-masing dari antara kamu sekalian telah Kami tetapkan Syir'ah [jalan] dan minhaj [metode]" (QS. Al- Ma'idah 5:48). [ ... ] pendek kata, Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung telah memberitakan bahwa dalam Taurat yang ada setelah [Isa] al-Masih as. Terdapat hukm [ajaran bijak] Allah ... [ ... ] Hal itumenunjukkan bahwa dalam Taurat yang ada sesudah [Isa] al-Masih terdapat hukm yang diturunkan Allah, yang mereka diperintahkan untuk berhukum dengan hal itu. Demikian pula dapat dikatakan berkenaan dengan Injil [yaitu bahwa didalamnya terdapat hukm dari Allah] ...Karena itu mazhab sebagian besar kaum salaf dan para imam ialah bahwa syara' kaum sebelum kita adalah juga syara' bagi kita selama tidak terdapat syara' kita yang berbeda. [Ibn Taymiyah, al Jawab al Shahnh liman Baddala Dnn al-Masnh, 4 jilid, Beirut, Matabi' al-Majd al-Tijariyah, jil. 1, hlm. 271-275]. Dan kitab-kitab Injil yang ada ditangan kaum Nasrani sama dengan hal itu, karena itu mereka [kaum Nasrani] diperintah untuk menjalankan hukm yang ada didalamnya. Sebab didalamnya terdapat berbagai hukm Allah, dan sebagian besar hukm-hukm yang ada didalamnya itu lafalnya tidak diubah, tetapi yang diubah ialah sebagian lafal-lafal berita dan sebagian makna dari perintah-perintah ... [Ibid., jil. 2, hlm. 18].
13. (18) Ayatullah Khumaini mengatakan: "Sesungguhnya beriman kepada para Nabi tidaklah sekadar mengetahui adanya mereka para Nabi itu semata dan mengakui
kebenaran mereka sebagai pembawa syari'at, tetapi yang jelas dari hal itu ialah [keharusan] memikul syari'at mereka, sebagai mana hal itu tidak diragukan. Ayatullah Khumaini, Ta'lnqbt 'alb Syarh Fush{sh al-Hikam wa Misbbh al-Uns, Qum: Padar-e-Islam, 14(10) H., hlm. 184.
14. (19) Untuk analogi untuk masalah-masalah keagamaan yang lain, Karen Armstrong, seorang bekas suster katolik dengan kemampuan besar mengerti memahami agama-agama, mengatakan demikian: Unfortunately, as in Christianity, the religion was later hijacked by the men, whointerpereted texts in a way that was negative for Muslim women. The Koran does not prescribe the veil for all women but only for Muhammad's wives, as a mark of their status. Once Islam has taken its place in the civilised world, however, Muslims adopted those customs of the Oikumene which relegated women to second class status. They adopted the customs of viling women and secluding them in harems fro
15. (20) Sumoah Ilahi itu merupakan ayat pertama
16. (21) Armstrong, op. cit., hlm. 22. 17. 22 Lihat Alkitab, bagian Kitab Keluaran (Eksodus), 20:2-17. Diterbitkan oleh Lembaga Alkitab
19. (24) Lihat Tafsir al-Manbr, jil. 8, hlm. 200-204.
20. (25) Dalam al-Qur'an, perintah untuk menuju kepada titik temu itu dinyatakan dalam surat Bli 'Imrbn 3:64, yang artinya ialah: "Katakanlah (wahai Muhammad): 'Wahai para pengikut kitab suci, marilah menuju ajaran agama sama (kalimat sawb') antara kami dan kamu sekalian, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah, dan tidak memperserikatkan-Nya dengan apa pun juga, dan bahwa kita tidak mengangkat sebagian dari kalangan kita sendiri (umat manusia) menjadi tuhan-tuhan selain Allah."
0 Response to "MAKALAH TENTANG : Kerukunan Antar Umat Beragama Di Indonesia"
Post a Comment