Tebar Pesona a la Trowulan: Megapolitan di Pedalaman Majapahit
“SIRA ta dhinarmeng Kapopongan, bhiseka ring Crnggapura pratista ring Antawulan”
KALIMAT di atas diambil dari Serat Pararaton yang berisi kisah Raja-Raja Tumapel dan Majapahit yang mengabarkan wafatnya Raja Jayanegara pada tahun 1328 Saka. Menurut Dr. N.J. Krom, Crnggapura dalam Pararaton sama dengan Cri Ranggapura dalam Nagarakrtagama, sedang Antawulan dalam Pararaton sama dengan Antarsasi dalam Nagarakrtagama.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dharma (tempat suci) Raja Jayanegara berada di Kapopongan atau Crnggapura atau Cri Ranggapura. Pratista (bangunan suci)-nya berada di Antawulan atau Trowulan. Sedangkan Kapopongan atau Crnggapura atau Cri Ranggapura sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan Gapura Bajangratu, sebuah bangunan pintu gerbang yang memiliki atap (paduraksa), bahan utamanya terbuat dari bata merah sedangkan lantai tangga dan ambang pintu terbuat dari batu andesit.
Tujuan pembuatan bangunan tersebut diduga sebagai pintu masuk ke sebuah bangunan suci untuk memperingati wafatnya Jayanegara (dalam Nagarakrtagama disebut kembali ke dunia Wisnu 1328 Saka), yang diperkuat dengan adanya relief Sri Tanjung dan Sayap Gapura yang mempunyai arti sebagai lambang “pelepasan”.
Gapura Bajangratu terletak di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, 65 km arah barat dari Kota Surabaya atau 20 km timur Jombang. Dari Jalan Raya Jombang - Mojokerto ke arah selatan, sampai di perempatan Dukuh Ngliguk belok ke timur sekitar 3 km. Anda bisa mencapainya dengan jalan kaki atau naik becak yang biasa mangkal di sekitar perempatan ibukota Majapahit tersebut.
Apabila anda naik becak dan keasyikan ngobrol dengan abang becak, dalam beberapa menit telah muncul di samping kiri anda kolam renang besar purba dengan sebuah candi kecil pada bagian tengahnya bersosok gunung merangkap pancuran - yang oleh masyarakat sekitar disebut Candi Tikus, setelah anda melewati belokan ke selatan.
Pada tahun 1924, Ir. H. Maclaine Pont membuat sketsa rekonstruksi ibukota Majapahit berdasarkan Nagarakrtagama dan beberapa usaha penggalian yang dilakukan bersama timnya. Ibukota Majapahit terlihat teratur, indah dan ditata dengan megah.
Dalam Nagarakrtagama disebutkan, penduduk ibukota Majapahit terdiri dari dua ratus sampai tiga ratus ribu keluarga, kota itu dikelilingi dinding tebal dan tinggi yang terbuat dari batu bata. Apabila ada yang masuk ke kota harus melewati pintu gerbang. Di kota itu terdapat alun-alun yang dikelilingi pohon beringin yang rindang, di tengahnya terdapat kolam yang besar. Di selatan alun-alun ada dataran untuk gelanggang. Di samping gelanggang terdapat sitinggil, suatu pelataran yang diberi atap.
Di sitinggil itulah raja duduk sambil menikmati tontonan atau permainan yang diadakan di gelanggang. Gelanggang tersebut dikelilingi komplek perumahan pendeta dan beberapa candi. Di selatan gelanggang terletak istana raja, yang tidak boleh dikunjungi rakyat. Tidak jauh dari istana terdapat bangunan untuk kediaman para pangeran.
Kecuali gedung-gedung suci (candi) dan pintu gerbang, semua bangunan terbuat dari kayu. Bangunan tersebut indah-indah semua dan bentuknyapun tidak ada yang sama antara satu dengan lainnya. Lagi pula semua dihiasi dengan lukisan dan barang dari tanah liat.
Kolam besar yang terdapat di tengah alun-alun tersebut dinamakan segaran yang berarti laut, atau telaga dalam Nagarakrtagama.
Menurut berita Cina dan cerita rakyat, kolam seluas 6,5 hektar tersebut digunakan untuk rekreasi dan menjamu tamu dari luar negeri, mungkin semacam pesta kebun atau standing party yang dilakukan di pinggir kolam.
Hidangan yang disajikan beraneka macam dan sangat lezat, sedangkan peralatan makan yang digunakan dalam pesta tersebut terbuat dari emas dan perak.
Setelah menyantap hidangan para tamu diperkenankan “membuang” piring atau peralatan makan/minum ke dalam kolam! Menunjukkan betapa kaya dan makmurnya negeri Majapahit…
Tak lama setelah tamu beranjak pulang, para petugas kerajaan datang memungut kembali “sampah” tersebut dengan cara mengangkat jala atau jaring-jaring yang menutupi sepanjang permukaan kolam - yang tentu saja ada lecet-lecet di sana-sini, ndak masalah, toh perhelatan serupa masih tiga purnama lagi.
Ehm, suatu entertaint dengan teknik orisinal untuk sebuah building image yang di-organized para pakar pi-ar mbah kita, atau mungkin lebih tepatnya mbah-mbahnya pakar pi-ar.
Dan malampun segera larut, para tamupun meneruskan mimpinya di ranjang-ranjang mewah keraton Trowulan. Ssst…lebih dari enam abad yang lalu praktek tebar pesona sudah dilakoni moyang kita!
KALIMAT di atas diambil dari Serat Pararaton yang berisi kisah Raja-Raja Tumapel dan Majapahit yang mengabarkan wafatnya Raja Jayanegara pada tahun 1328 Saka. Menurut Dr. N.J. Krom, Crnggapura dalam Pararaton sama dengan Cri Ranggapura dalam Nagarakrtagama, sedang Antawulan dalam Pararaton sama dengan Antarsasi dalam Nagarakrtagama.
Jadi dapat disimpulkan bahwa dharma (tempat suci) Raja Jayanegara berada di Kapopongan atau Crnggapura atau Cri Ranggapura. Pratista (bangunan suci)-nya berada di Antawulan atau Trowulan. Sedangkan Kapopongan atau Crnggapura atau Cri Ranggapura sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan Gapura Bajangratu, sebuah bangunan pintu gerbang yang memiliki atap (paduraksa), bahan utamanya terbuat dari bata merah sedangkan lantai tangga dan ambang pintu terbuat dari batu andesit.
Tujuan pembuatan bangunan tersebut diduga sebagai pintu masuk ke sebuah bangunan suci untuk memperingati wafatnya Jayanegara (dalam Nagarakrtagama disebut kembali ke dunia Wisnu 1328 Saka), yang diperkuat dengan adanya relief Sri Tanjung dan Sayap Gapura yang mempunyai arti sebagai lambang “pelepasan”.
Gapura Bajangratu terletak di Dukuh Kraton, Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, 65 km arah barat dari Kota Surabaya atau 20 km timur Jombang. Dari Jalan Raya Jombang - Mojokerto ke arah selatan, sampai di perempatan Dukuh Ngliguk belok ke timur sekitar 3 km. Anda bisa mencapainya dengan jalan kaki atau naik becak yang biasa mangkal di sekitar perempatan ibukota Majapahit tersebut.
Apabila anda naik becak dan keasyikan ngobrol dengan abang becak, dalam beberapa menit telah muncul di samping kiri anda kolam renang besar purba dengan sebuah candi kecil pada bagian tengahnya bersosok gunung merangkap pancuran - yang oleh masyarakat sekitar disebut Candi Tikus, setelah anda melewati belokan ke selatan.
Pada tahun 1924, Ir. H. Maclaine Pont membuat sketsa rekonstruksi ibukota Majapahit berdasarkan Nagarakrtagama dan beberapa usaha penggalian yang dilakukan bersama timnya. Ibukota Majapahit terlihat teratur, indah dan ditata dengan megah.
Dalam Nagarakrtagama disebutkan, penduduk ibukota Majapahit terdiri dari dua ratus sampai tiga ratus ribu keluarga, kota itu dikelilingi dinding tebal dan tinggi yang terbuat dari batu bata. Apabila ada yang masuk ke kota harus melewati pintu gerbang. Di kota itu terdapat alun-alun yang dikelilingi pohon beringin yang rindang, di tengahnya terdapat kolam yang besar. Di selatan alun-alun ada dataran untuk gelanggang. Di samping gelanggang terdapat sitinggil, suatu pelataran yang diberi atap.
Di sitinggil itulah raja duduk sambil menikmati tontonan atau permainan yang diadakan di gelanggang. Gelanggang tersebut dikelilingi komplek perumahan pendeta dan beberapa candi. Di selatan gelanggang terletak istana raja, yang tidak boleh dikunjungi rakyat. Tidak jauh dari istana terdapat bangunan untuk kediaman para pangeran.
Kecuali gedung-gedung suci (candi) dan pintu gerbang, semua bangunan terbuat dari kayu. Bangunan tersebut indah-indah semua dan bentuknyapun tidak ada yang sama antara satu dengan lainnya. Lagi pula semua dihiasi dengan lukisan dan barang dari tanah liat.
Kolam besar yang terdapat di tengah alun-alun tersebut dinamakan segaran yang berarti laut, atau telaga dalam Nagarakrtagama.
Menurut berita Cina dan cerita rakyat, kolam seluas 6,5 hektar tersebut digunakan untuk rekreasi dan menjamu tamu dari luar negeri, mungkin semacam pesta kebun atau standing party yang dilakukan di pinggir kolam.
Hidangan yang disajikan beraneka macam dan sangat lezat, sedangkan peralatan makan yang digunakan dalam pesta tersebut terbuat dari emas dan perak.
Setelah menyantap hidangan para tamu diperkenankan “membuang” piring atau peralatan makan/minum ke dalam kolam! Menunjukkan betapa kaya dan makmurnya negeri Majapahit…
Tak lama setelah tamu beranjak pulang, para petugas kerajaan datang memungut kembali “sampah” tersebut dengan cara mengangkat jala atau jaring-jaring yang menutupi sepanjang permukaan kolam - yang tentu saja ada lecet-lecet di sana-sini, ndak masalah, toh perhelatan serupa masih tiga purnama lagi.
Ehm, suatu entertaint dengan teknik orisinal untuk sebuah building image yang di-organized para pakar pi-ar mbah kita, atau mungkin lebih tepatnya mbah-mbahnya pakar pi-ar.
Dan malampun segera larut, para tamupun meneruskan mimpinya di ranjang-ranjang mewah keraton Trowulan. Ssst…lebih dari enam abad yang lalu praktek tebar pesona sudah dilakoni moyang kita!
0 Response to "Tebar Pesona a la Trowulan: Megapolitan di Pedalaman Majapahit"
Post a Comment